NUSANTARA1.ID – Fenomena calon legislatif (Caleg) memilih mundur sebelum dilantik, tiba-tiba memunculkan spekulasi dari beberapa kalangan. Maklum, tercatat ada dua Caleg terpilih memilih mundur sebelum dilantik, Ratu Ngadu Bonu Wulla (Ratu Wulla) dan Mirati Dewaningsih.
Ratu Ngadu Bonu Wulla merupakan kader Partai NasDem dari daerah pemilihan (Dapil) NTT II yang lolos ke DPR RI. Sementara Mirati Dewaningsih Caleg DPD terpilih di Dapil Maluku.
Ratu Wulla mengundurkan diri usai meraih suara terbanyak ketiga di dapil NTT II pada Pemilu 2024. Dia juga menjadi caleg Partai NasDem pendulang suara terbanyak di partainya di dapil NTT II dengan perolehan 76.331 suara.
Capaian suara Ratu Wulla itu juga di atas mantan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat yang hanya mendapat 65.359 suara di dapil NTT II atau terpaut 10.972 suara. Viktor Laiskodat pun berpotensi lolos ke DPR usai Ratu Wulla memutuskan mundur dari pencalonan.
Sementara itu, Mirati Dewaningsih juga mundur sebelum ditetapkan resmi oleh KPU dan dilantik. Ia mendapat suara terbanyak di Dapil Maluku. Mirati Mirati Dewaningsih mengklaim hendak maju Pilbup Maluku Tengah 2024.
Keputusan Mirati Mirati Dewaningsih ini membuka peluang caleg DPD Nono Sampono yang berada dalam Dapil yang sama, sehingga lolos kembali ke DPD RI.
Fenomena itu lantas memantik reaksi peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil. Dirinya meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperketat aturan bagi Caleg baik DPR, DPRD, dan DPR yang telah terpilih pada Pemilu 2024 lalu jika mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas.
“Buat aturan yang memperketat orang tidak bisa mundur sembarangan. Bahkan, kalau alasan mundur tanpa dasar yang jelas, yang dilakukan mestinya menutup ruang mengundurkan diri,” kata Fadli kepada wartawan, Ahad (23/6).
Fadli Ramadhanil menyebut, fenomena caleg tiba-tiba mundur tanpa alasan jelas terkait dengan kemurnian prinsip kedaulatan rakyat dari sebuah proses penyelenggaraan pemilu, mestinya kerangka hukum pemilu mengatur ketat soal itu.
Ia menyadari dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2007, caleg DPR, DPRD, dan DPD terpilih boleh mengundurkan diri dan bisa diganti oleh caleg satu partai yang berada dalam daerah pemilihan sama (dapil) yang sama. Namun, ia khawatir ketentuan tersebut menjadi ruang transaksional para Caleg.
“Mestinya agar ada konsistensi terkait dengan prinsip pemilu proporsional terbuka, prinsip kedaulatan rakyat, dan penghormatan pada suara pemilih, caleg mundur itu memang harus dipersulit, tidak bisa dipermudah, karena jadi ruang transaksional, pada akhirnya dikhawatirkan seperti itu,” tegasnya.
Sementara, Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, perlu ada sanksi tegas yang diberikan kepada caleg DPR, DPRD, DPD terpilih yang memutuskan mundur sebelum ada penetapan resmi oleh KPU.
“Memang harus dibuatkan sanksi. Setidaknya tidak diperkenankan untuk terlibat lagi dalam hajatan pemilu, minimal satu kali hajatan pemilu. Tentu, aturan ini berlaku bagi mereka yang tidak ditemukan alasan kuatnya untuk mengundurkan diri,” ucap Ray.
Dirinya menekankan, KPU harus membuat aturan serupa seperti pencalonan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam UU Pemilu maupun Pilkada, para calon presiden dan wakil presiden maupun kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang mundur setelah resmi ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU.
“Aturan ini mungkin dibuat mengingat dalam pencalonan presiden dan wakil presiden serta kepala dan wakil kepala daerah dilakukan. Yakni tidak boleh mundur kala sudah ditetapkan sebagai pasangan calon,” ujarnya. (*)