NUSANTARA1.ID – Ada yang menarik dari pernyataan yang disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata. Yakni, pihaknya menerima aduan terkait dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) pada Februari 2020.
Hal itu disampaikan Alexander Marwata usai diperiksa Dewas KPK terkait dugaan pelanggaran etik pertemuan Ketua KPK Firli Bahuri dengan mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL).
“Pada Februari 2020 betul ada laporan masyarakat terkait dugaan TPK (tindak pidana korupsi) di Kementan,” kata Alexander Marwata di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (30/10).
Alexander Marwata mengklaim, dari hasil penyelidikan itu Pimpinan KPK tidak menerima hasil rinco penelahaannya. Menurutnya, Pimpinan KPK hanya diberikan executive summary.
“Disposisi pimpinan hanya itu tindak lanjuti dengan lidik, apakah langsung ditindaklanjuti? Ternyata tidak. Baru pada 27 April itu dari Kedeputian Penindakan itu meneruskan ke Direktorat Penyelidikan untuk dilakukan penyidikan,” ujar Alexander Marwata.
Alexander Marwata memastikan, dirinya tidak akan terganggu dengan penggeledahan rumah Ketua KPK Firli Bahuri di sela-sela pengusutan kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Ia memastikan, kerja pimpinan KPK menganut asas kolektif kolegial.
“Saya pribadi nggak terganggu. Pimpinan itu kan lima, kolektif kolegial. Kalau misalnya ada satu pimpinan yang mbalelo, yakinlah itu tidak akan menghentikan proses. Kan begitu,” ucap Alexander Marwata.
Menurut Alexander Marwata, jika bukan hanya Firli Bahuri, melainkan ada satu pimpinan KPK lagi yang tersandung masalah hukum, tetap tidak akan menghentikan sebuah perkara. Ia menekankan, jika ingin mempengaruhi sebuah kasus di KPK, Alexander Marwata berkelakar, maka harus menyuap kelima pimpinan.
“Dua pimpinan, itu juga tidak akan menghentikan proses. Masih ada tiga, kalau voting masih menang. Kan gitu. Jadi kalau ingin mempengaruhi perkara di KPK, suap yang lima pejabat, atau paling enggak tiga lah, menang kan,” tegas Alexander Marwata.
Kolektif kolegial sengaja dibuat di KPK untuk menghindari adanya intervensi. Hal ini penting, untuk meminimalisasi adanya kuasa pada satu orang.
“Kalau toh, ada intervensi, itu harus banyak pimpinan yang intervensi. Jauh lebih mudah kalau intervensinya ke penindakan, langsung,” pungkas Alexander Marwata. (*)